Kurikulum Pendidikan Geografi

Kurikulum Pendidikan Geografi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Hakikat Kurikulum

Ibarat sekelompok pendaki  gunung, untuk mencapai tujuannya ke puncak cita-cita,  ada rencana yang matang , ada cara yang akan dilakukan, dan ada target yang akan dicapai. Rencana berkaitan dengan berbagai persiapan mendaki, persiapan perlengkapan seperti sepatu untuk mendaki,  pakaian, obat-obatan, makanan, air minum, dan persiapan lainnya. Selain itu adalagi perencanaan fisik, psikis, dan teknik. Perencanaan fisik berkaitan dengan kesehatan, psikis berkaitan dengan mental/ tekad pantang menyerah untuk sampai ke puncak gunung, dan persipan teknik berkaitan dengan cara mendaki, berjalan,  dan seterusnya. Sedangkan target adalah sampai dan berada di puncak gunung tersebut. Jika perencanaan tidak jelas, teknik mendaki tidak dipahami, terget tidak pasti, tentu pendakian akan gagal, dan sia-sialah semua pengorbanan yang telah dikeluarkan.Kegiatan seperti cerita di atas adalah cerita tentang kurikulum, dalam dunia pendidikan namanya kurikulum pendidikan.

Sehubungan dengan contoh di atas, seorang pakar kurikulum Zais (1976) mengatakan kurikulum ibarat sebuah lapangan tempat berpacu yang di dalamnya terdapat beberapa unsur penting. Unsur tersebut antaralain; ada garis start, ada lapangan pacu untuk bertanding, dan ada garis finish tempat di mana perlombaan berakhir. Sebelum seseorang bertanding  ia membuat  perencanaan matang terlebih dahulu, upaya apa yang mesti dilakukan, bagaimana teknik berapacu, dan sampai ke tujuan (garis finish) dengan selamat, lalu memenangkan perlombaan.

Kurikulum pendidikan pada prinsipnya mirip dengan contoh-contoh di atas. Kurikulum pendidikan berhubungan dengan langkah-langkah yang hendak dilalui dalam suatu proses pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penentuan metode pembelajaran, sampai pada penentuan target pembelajaran, dan menilai apakah tujuan itu sudah tercapai atau belum. Jika perencanaan pembelajaran tidak jelas, metode dan teknik tidak dimiliki, dan tujuan akhir tidak pasti, tentu hasil yang diharapkan dari peserta didik tidak akan pernah terwujud.

Manusia hidup juga demikian, setiap pribadi ada kurikulumnya yaitu kurikulum kehidupan. Ada perencanaan, ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan atau ikhtiar, ada arah yang hendak dituju yaitu cita-cita. Setiap akhir dari sebuah pekerjaan ada pula evaluasinya yaitu evaluasi diri. Jika hidup tidak memiliki perencanaan, tidak jelas apa yang mau dilakukan, tentu akhir hidup juga menjadi tidak jelas.

1. Pengertian

Kata kurikulum berasal dari kata currere (Latin), artinya lapangan perlombaan atau track untuk sebuah perlombaan (Dakir, 2004). Pengertian lapangan lomba adalah pengertian tersirat, yang mengibaratkan di lapangan itu ada garis start, ada jalur pacu, dan ada garis finish. Dalam pembelajaran  artinya kurang lebih;  ada rencana, ada proses, dan ada tujuan. Jadi kurikulum dalam pembelajaran adalah seperangkat rencana pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan. Pengertian kurikulum secara lebih luas dapat diatikan berdasarkan sudut pandang. antaralain; kurikulum sebagai program (curriculum as the program of studies),  kurikulum sebagai isi pembelajaran (curriculum as course content),  kurikulum sebagai kumpulan bahan ajar, kurikulum sebagai rencana pembelajaran untuk tindakan pembelajaran, dan kelima kurikulum sebagai pengalaman belajar (learning experience).

2. Fungsi Kurikulum

Kurikulum banyak fungsinya, bagi guru, bagi sekolah, bagi siswa.  Masing-masing fungsi tersebut akan dibahas pada bagian berikut.

Pertama fungsi bagi guru, sebagai pedoman untuk menuntun langkah-langkah pembelajaran. sebelum memulai pembelajaran guru menyiapkan berbagai perangkatnya terlebih dahulu. Di dalam perangkat pembelajaran itu terdapat bermacam variabel dan indikator yang akan dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Misalnya; kompetensi inti dan sub kompetensi yang akan dikembangkan, materi pendukung, cara membelajarkannya atau metode yang dipakai, alokasi waktu yang tersedia, buku yang digunakan, dan bentuk ujian yang akan dilaksanakan. Jadi bagi guru  kurikulum yang berfungsi sebagai panduan dalam proses pembelajaran, sehingga guru bisa lebih fokus ke tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.

Kedua, sekolah memiliki sejumlah tujuan, mulai dari tujuan yang lebih umum sampai pada yang lebih khusus. Tujuan yang lebih umum dapat dilihat melalui visi sekolah, sedangkan yang lebih khusus dilihat dari misinya, dan lebih spesifik lagi adalah dari program yang dirancang di setiap awal tahunnya. Dalam rangka pelaksanaan dan pengembangan program sekolah, sekolah tentu memerlukan perencanaan matang agar terwujud apa yang dicita-citakan. Kurikulum pembelajaran adalah salah satu bentuk perencanaan sekolah yang berfungsi sebagai pedoman bagi sekolah tersebut untuk mncapai visi dan misinya.

Ketiga, diawal pembelajaran guru dan tenaga pendidik lainnya memberikan lembaran berupa silabus, satuan pembelajaran, dan hand out kepada peserta didiknya, Didalam silabus dan satuan pembelajaran itu termuat variabel dan indiakator pembelajaran, antara lain; kompetensi inti dan sub kompetensi, materi yang akan dipelajari, cara guru membelajarkannya atau metode yang dipakai, alokasi waktu yang tersedia, buku yang digunakan, dan bentuk ujiannya. Dengan adanya perangkat pembelajaran siswa mengetahui apa saja kegiatan yang akan mereka lalui, misalnya selama dalam satu semester. Jadi kurikulum pembelajaran sangat penting artinya bagi para peserta didik, karena ia berfungsi sebagai pedoman untuk menjalani proses pembelajaran yang mereka tempuh.

Keempat, masyarakat memerlukan informasi yang jelas tentang kegiatan dan perkembangan suatu sekolah, terutama sekolah yang berhubungan langsung dengan kepentingan mereka di mana anak-anak mereka belajar di sekolah tersebut. Biasanya disetiap tahun ajaran baru orang tua siswa diminta datang ke sekolah untuk menerima informasi tentang sekolah. Bagi sekolah yang berkomitmen tinggi, informasi tersebut disampaikan secara tertulis, dalam bentuk selebaran, liflet, dan sebagainya. Ada pula sekolah memberikan rencana pembelajaran yang akan diikuti siswa, misalnya untuk satu semester atau dua semester. Jadi, semua bentuk program dan kegiatan sekolah ini ada kurikulum sekolah, yang berfungsi sebagai pedoman bagi masyarakat khususnya orang tua dalam memantau penyelenggaraan pendidikan anak-anak mereka.

3. Tujuan Kurikulum
Tujuan kurikulum tidak bisa lepas dari tujuan pendidikan nasional yaitu mewujudkan generasi yang bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral dan berakhlak mulia, cerdas, dan memiliki keterampilan, (lengkapnya lihat UU Sisdiknas Nomor 20/2003). Dalam tujuan kurnas akan tergambar kompetensi apa saja yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik, bagaimana melaksanakannya, dan bagaimana menentukan tergetnya. Tujuan pendidikan secara regional memberikan peluang kepada daerah untuk mengembangkan pendidikan secara lebih spesifik. Tujuan kurikulum regional dapat saja disandingkan dengan tujuan lokal, yang kemudian dapat direalisasiskan dalam bentuk mata pelajaran ‘’muatan lokal”. Mata pelajaran lokal pada tinggkat regional juga bisa berbeda, maka ada pula mata pelajaran muatan lokal yang lebih spesifik lagi, sesuai dengan kultur, budaya, dan adat istiadat yang berkembang di masyarkat tersebut. Di Sumatera Barat, siswa SD diajarkan bagaimana siswa tau dan mengerti budaya dan adat istiadat Minangkabau, sehingga muncul mata pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau).

B. Sejarah

Dua tahun setelah merdeka pendidikan nasional sudah memiliki kurikulum pendidikan yaitu kurikulum 1947 dikenal dengan istilah leer plan (rencana pembelajaran). Kurikulum ini masih dipengeruhi oleh gaya pendidikan belanda. Karakteristik kurikulum 1947 adalah memberi penekanan pada pembentukan karakter bangsa, memupuk rasa nasionalis karena baru saja melepaskan diri dari sistem penjajahan. Pancasila dijadikan sebagai azas pendidikan agar bangsa indonesia merasa tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain yang sudah merdeka. Realisasi kurikulum 1947 baru terwujud tahun 1950, dan bentuknya masih sangat sederhana. Struktur kurikulum hanya dua saja yaitu; nama mata pelajaran dan jumlah jam pelajaran. Yang diutamakan adalah pengembangan potensi non-kognitif seperti pendidikan budi pekerti, dan semangat berbangsa dan bernegara. Ini berarti penilaian terhadap sikap, kepribadian dan perilaku siswa menjadi penting.

Tahun 1952 kurikulum 1947 berubah nama leer plan pembelajaran ke pembelajaran terurai. Ciri kurikulum 1952 adalah pembelajaran berbasis linkungan. Guru diminta menghubungkan materi pembelajarannya dengan apa yang terjadi di lingkungan peserta didik. Ciri pembelajaran kontekstual sebagaimana yang diperkenalkan saat ini secara pada prinsipnya sudah kelihatan pada kurikulum 1952 ini.

Pada tahun 1964 terjadi lagi pergantian kurikulum disebut kurikulum 1964. Kesadaran akan pentingnya pengembangan komptensi afektif muncul lagi, hampir sama dengan kurikulum 1947. Penekanan pengembangan kompetensi peserta didik tidak jauh berbeda dengan kurikulum 1947 akan tetapi namanya berubah menjadi kurikulum yang mengembangkan pancawardhana ( rasa, karsa, karya, dan moral). Dalam kurikulum 1964 ada perimbangan pengembangan potensi siswa, pengembangan potensi otak (aspek kognisi) dan keterampilan (psikomotorik). Model penilaian keterampilan dan penilaian proses mulai dibutuhkan, meskipun pada kenyataannya penilaian aspek kognitif tetap lebih dominan.

Selanjutnya pengembangan kurikulum 1964 ke kurikulum 1968. Kurikulum 1968 memberi penekanan pada penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari. Pembelajaran yang berorientasi pengamalan nilai-nilai afeksi menjadi perhatian penting oleh pemerintah. Tujuan pendidikan pada saat itu adalah membentuk manusia pancasilais dan menujunjung tinggi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Kurikulum berikutnya adalah kurikulum 1975. Kurikulum 1975 mengembangkan konsep satuan pembelajaran. Setiap pokok bahasan memiliki rencana pembelajaran yang jelas yang di dalamnya terdapat dua tujuan pembelajaran yaitu: 1) Tujuan Pembelajaran Umum (TIU), dan 2) Tujuan Pembelajaran Khusus (TIK). Kedua tujuan pembelajaran ini mirip dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang dikembangkan di kurikulum 2006. Kedua tujuan tersebut harus jelas dalam perangkat pembelajaran termasuk indikator pendukungnya seperti materi, metode, media yang digunakan, bentuk penilaian, dan buku sumber. Penilaian diarahkan pada penggalian ranah kognitif siswa, sedikit sekali guru melakukan penilaian nonkognitif, karena ada paradigma bahwa aspek psikomotorik itu bagiannya mata pelajaran olahraga dan seni, pelajaran PKK, dan aspek afeksi itu di mata pelajaran Pancasila …

Sepuluh tahun kemudian kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984 atau kurikulum yang disempurnakan. Kurikulum 1984 bertujuan memperbaiki kelemahan-kelemahan kurikulum sebelumnya , salah satunya adalah dominasi guru yang begitu besar dalam pembelajaran siswa diposisikan sebagai obyek dalam pembelajaran. Dalam kurilum 1984 posisi guru sebagai pemain utama beralih ke siswa dengan cara melibatkan siswa dalam proses pembelajaran secara lebih aktif, dan lebih mandiri. Cara pembelajaran ini terkenal dengan istilah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Konsep pembelajaran siswa aktif pada kurikulum 1984 sebenarnya cukup bagus, akan tetapi prakteknya tidak berjalan mulus. Cara belajar siswa aktif tanpa sadar dipahami dalam bentuk respon-respon gerak, siswa boleh mondar mandiri melakukan sesuatu. Salah satu yang menonjol adalah, siswa disuruh mencatat sendiri, pada saat guru menerangkan siswa disuruh mencatat, keberhasilan guru dilihat dari banyaknya catatan-catatan siswa. Puncak dari kelemahan kurikulum 1984 adalah ketika masyarakat membuat plesetan kepanjangan CBSA menjadi “Catat Buku Sampai A/habis”. Aspek yang dinilai tidak jauh beda dengan kurikulum sebelumnya, tetap saja menjagokan persoalan-persoalan kognisi.

Kurikulum 1984 kemudian berubah ke kurikulum 1994. Kurikulum 1994 juga bertujuan pengembangan dari kurikulum sebelumnya, di sini muncul ide untuk memadukan keunggulan kurikulum 1974 dan kurikulum 1994. Pada periode ini materi pembelajaran tidak hanya di dominasi oleh materi yang sudah ditetapkan secara nasional, tetapi juga ditambah dengan materi lokal dengan istilah muatan lokal (mulok). Setiap daerah diberi kebebasan menentukan muatan lokalnya, seperti muatan lokal yang berorientasi adat istiadat/budaya, kesenian, keterampilan daerah, dan bahasa. Sedangkan untuk sekolah-sekolah perkotaan lebih cenderung ke materi-materi yang berbasis teknologi informasi, seperti kemampuan komputer dan internet.

Kurikulum 1994 ternyata juga memiliki sisi lemah, akibat dari penumpukan materi yang tanpa kendali maka muatan kurilum menjadi overload. Klaim mata pelajaran A lebih penting dari mata pelajaran B dan C sering terjadi. Karena adanya otonomi daerah, setiap daerah menjadikan hal-hal spesifiknya untuk dipelajari di bangku sekolah. Mata pelajaran spesifik daerah ini kemudian diberi nama sebagai “muatan lokal (mulok)”. Jadi dapat dikatakan bahwa kurikulum 1994 adalah kurikulum yang sangat padat materi.

Kurikulum 1994 juga memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satunya adalah banyaknya beban materi yang mesti dipelajari siswa. Ini berakibat orientasi pembelajaran dominan berorientasi kognisi. Bentuk penilaian yang dikembang mengarah pada upaya penggalian aspek kognitif, sedangkan penilaian terhadap kompetensi psikomotor dan afeksi siswa banyak terabaikan.

Kurikulum 1994 kemudian dikembangkan lagi menjadi kurikulum 2004. Kurikulum 2004 terkenal dengan istilah KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi). Kurikukulum KBK memiliki 5 karakterisitik antara lain: 1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupu klasikal, 2) berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman, 3)   menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, 4) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, 5) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Dalam KBK penilian yang variatif sudah makin kelihatan. Meskipun penilaian masih cenderung berorientasi ke panilaian aspek kognisi tetapi penilaian aspek psikomotor dan afeksi sudah menjadi semakin penting.

Kurikulum 2004 dianggap masih ada kelemahan, salah satu kelemahan kurikulum berbasis kompetensi adalah tidak sinkronnya antara cita-cita dengan harapan. Cita-cita untuk menggali potensi jamak siswa dengan penilaian yang variatif pada kenyataannya masih tetap berorientasi hasil, dimana nilai aspek kognitif tetap saja sebagai penilaian pokok. Kurikulum (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7) standar penilaian pendidikan.

Dalam kurikulum KTSP guru diberi kesempatan yang lebih luas untuk melaksamakan proses pembelajarannya sesuai dengan konteks lingkungan dimana siswa belajar. Kompetensi dasar serta standar-standar kompetensi sudah dutetapkan pemerintah, sementara guru boleh melakukan perubahan-perubahan pembelajaran sepanjang tetap berada dalam KD dan SK yang melingkupinya. Dengan kata lain, pengembangan perangkat pembelajaran seperti RPP, silabus, hand otu dilaksanakan oleh sekolah bersama majlis gurunya di bawah koordinasi dinas pendidikan Kabupaten /Kota Kurikulum KTSP dinilai masih ada kelemahan di antaranya; 1) masih berorientasi kognisi, 2) sarat jam dan mata pelajaran, (3) materi yang diajarkan saling terpisah atau parsial. Untuk itulah kemudian lahir kurikulum 2013. Karena informasi tetantang kurikulum 2013 sangat diperlukan dan berdampak terhadap sistem penilaian maka penjelasannya perlu disampaikan secara terpisah dan lebih utuh seperti berikut ini.

Landasan yuridis tentang pelaksanaan kurikulum 2013 adalah peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 54 tahun 2013 tentang standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah. Kompetensi lulusan yang dimaksud adalah kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Jika dihubungkan dengan beberapa landasan teoretik sebelumnya secara prinsip sasaran pengembangan kompetensi peserta didik tidak berbeda dengan cita-cita pengembangan kompetensi dalam kurikulum sebelumnya. Pengembangan itu tetap saja pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

Dalam kurikulum 2013 sistem pembelajaran yang dikembangkan adalah pembelajaran yang membantu peserta didik mampu mengembangkan semua komptensi yang ia miliki, kompetensi afeksi, kognisi dan psikomotor. Satu topik materi diharapkan mampu mengembangkan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik. Misalnya di SMP kelas VIII siswa belajar tentang flora dan fauna di Indonesia. Aspek sikap dalam materi ini adalah ketika tenaga pendidik menjelaskan tentang pentingnya memelihara kelangsungan hidup binatang dan tumbuhan mulai dari lingkungan sendiri, sampai ke lingkungan di luar rumah. Aspek pengetahuannya, peserta didik mengetahui jenis tumbuhan yang hidup di wilayah Indonesia, mengetahui perbedaan fauna Asiatis, Australiatis, dan fauna peralihan. Aspek keterampilanya ketika tenaga pendidik menugaskan siswa untuk membuat peta penyebaran flora dan fauna di Indonesia, dan hasil tugas tersebut adalah peta penyebaran fauna dan flora Indonesia.

Untuk lebih jelasnya berikut ini dapat dilihat bagaimana keterpaduan tiga kompetensi dirancang dalam kurikulum, sebagaimana tercantum dalam Permen Nomor 54/2013, tentang kompetensi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama-SMP/Madrasah Tsnawiyah-MTs, dan Sekolah Menengah Atas-SMA/Madrasah Aliah-MA/Sekolah Menengah Kejuaruan-SMK. Yang perlu digaris bawahi bahwa tuntutan kompetensi untuk masing-masing jenjang pendidikan tidak sama. Sesuai dengan tingkat umur dan kematangan berpikir peserta didik di jenjang SD kompetensi yang diharapkan adalah pada aspek tingkah laku, sedangkan aspek pengetauan tidak banyak. Sebaliknya di Perguruan Tinggi maka aspek pengetahuan yang lebih banyak porsinya diterima mahasiswa.

C. Kurikulum Pendidikan Geografi

Evaluasi Pendidikan & Pengajaran Geografi

Evaluasi Pendidikan & Pengajaran Geografi

BAB I PENDAHULUAN

A. Pengertian

Evaluasi dalam bahasa Inggris disebut evaluation, oleh Nitko (1996)  diartikan  the process of making value  judgment (proses untuk mengambil keputusan yang tepat). Keputusan yang dimaksud terkait dengan keputusan apa saja tentang suatu program. Stufflebeam & Shinkfield (2007) menyebutkan kata  evaluasi oriented to assessing and helping to improve all aspects of society, …..school programs, libraries, museums, hospitals, courts, universities, …and many more  (evaluasi berorientasi menilai dan meningkatkan semua aspek di masyarakat seperti; program-program sekolah, perpustakaan, museum, lembaga pengadilan, universitas, dan lainnya).  Dengan demikian jelaslah bahwa, istilah evaluasi merupakan istilah umum yang dapat saja dugunakan dalam berbagai kepentingan.

Istilah lain yang berhubungan dengan kata evaluasi adalah penilaian, tes, dan pengukuran. Pemahaman mengenai perbedaan ketiga istilah ini termasuk penting, terutama bagi seorang calon tenaga pendidik. Dari berbagai kesempatan seminar/ ceramah ilmiah yang pernah penulis ikuti, ternyata masih banyak di antara peserta yang menyamakan saja penggunaan ketiga istilah tersebut dalam keseharian. Untuk itu, berikut ini akan dijelaskan pengertian dari ketiga istilah tersebut.

1. Penilaian (assessment), adalah proses mendapatkan informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan, misalnya keputusan tentang siswa, kurikulum,  program pendidikan, dan program lainnya.

2. Tes (test),  konsep yang lebih sempit dari penilaian dan dapat diartikan sebagai  instrumen  untuk mengobservasi dan menggambarkan satu atau lebih karakteristik seseorang dengan ukuran-ukuran tertentu.

3. Pengukuran (measurement) adalah prosedur  mendapatkan angka dari suatu objek nilai. Jika yang dinilai siswa, maka pengukuran adalah prosedur untuk mendapatkan angka tentang siswa, tentang hasil belajar siswa.

Penulis mencoba menganalogikan penggunaan istilah evaluasi, penilaian, tes, dan pengukuran dalam kehidupan sehari-hari. Seperti ibu-ibu  berbelanja di pasar yang akan membeli kacang rebus.  Kebiasaan ibu-ibu sebelum menetapkan pilihannya untuk membeli  adalah melihat-lihat dulu, memperhatikan warna kulit kacang, bertanya tentang daerah asal kacang,  memperhatikan tampilan si penjual kacang, sampai mencoba lalu memakan beberapa biji kacang. Tapi, jangan coba-coba kalau mencoba duren, satu duren saja sudah sama dengan membelinya. Lalu ditanyakan harga per liter-nya, kalau 1 liter harganya Rp.9.000,- berarti  dibeli 2 liter harganya Rp. 18.000,-. Setelah tawar menawar, sang ibu memutuskan untuk membeli kacang tersebut dan terjadilah putusan jual-beli. Dari sekelumit cerita ini maka; kegiatan mendapatkan informasi tentang kacang adalah kegiatan penilaian, liter sebagai alat ukur adalah tes, proses pengalian angka 2 x Rp.9.000 = Rp. 18.000,- adalah pengukuran, sedangkan putusan untuk membeli adalah evaluasi.  

Jika cerita di atas dibawa ke dalam proses pembelajaran di sekolah, maka kegiatan-kegiatan yang berusaha untuk mengetahui latar belakang siswa, mengetahui kemampuan awal siswa, melakukan free test pada dasarnya adalah kegiatan penilaian, sehingga guru memahami betul tentang karakteristik siswa yang dihadapinya. Selanjutnya setelah guru mengajar, siswa diberikan ulangan atau post test, maka lembar ujian atau soal yang diberikan itu adalah tes (alat ukur). Kemudian setelah siswa menjawab soal ujian diberikan skor, beberapa skor ujian diolah untuk dijadikan sebagai nilai akhir, dan muncullah angka hasil belajar misalnya 90, 92, 87, 65, dan lain sebagainya, maka inilah yang disebut dengan pengukuran. Pada akhirnya tibalah saatnya pada penetapan kenaikan kelas, kelulusan sekolah, maka putusan yang diambil untuk naik-tidak naik kelas, lulus-tidak lulus sekolah adalah keputusan evaluatif.

Selanjutnya istilah evaluasi pembelajaran  lebih spesisifik, yaitu kegiatan evaluasi yang diselenggarakan di sekolah. Orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah siswa, guru dan prangkat sekolah, atau mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi. Kegiatan-kegiatan membuat soal, mengujikan soal, menilai mutu butir soal (validitas, reabilitas, indek kesukaran, indek daya beda, keberfungsian pengecoh), memberikan feed back hasil belajar, merupakan kegiatan yang  berkaitan dengan evaluasi pembelajaran.

B. Landasan Evaluasi Pendidikan & Pengajaran

Sekurangnya ada 3 landasan atau pijakan bagi seorang tenaga pendidik dalam melakukan kegiatan evaluasi pendidikan dan pengajaran di sekolah. Tiga landasan tersebut adalah; (1) manusia sebagai makhluk berpikir, (2) manusia makhluk yang dinamis dan berkembang, 3) landasan kebenaran.

1. Landasan Filosofis

a. Manusia sebagai Makhluk Berpikir
Berpikir adalah ciri utama dan sekaligus pembeda manusia dengan makhluk Tuhan yang lain. Semenjak kecil sudah ada proses berpikir dalam diri manusia. Semakin bertambah umur semakin meningkat kamampuan berpikirnya, pengetahuan yang dimilikinya juga semakin bertambah. Puncak kegiatan berpikir seseorang ditandai ketika memasuki usia sekolah, menapaki jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan formal maupun non formal. Jenjang pendidikan formal mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan Perguruan Tinggi (PT). Jenjang non formal misalnya pengembangan diri pada lembaga-lembaga kursus, dan lembaga-lembaga keterampilan lainnya.

Bukti bahwa manusia sebagai makluk berpikir dapat dilihat dari kemampuannya memahami berbagai fenomena kehidupan dan mengolah alam sekitar menjadi lebih bermanfaat untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Proses berpikir mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Mulai dari cara bertahan untuk hidup, melindungi diri dari bahaya, menghindari macet, membuat masakan agar lebih enak, menemukan obat-obatan untuk kesehatan, menemukan energi listrik untuk penerangan dan berbagai keperluan hidup, sampai menemukan fenomena planet yang sangat menakjubkan di jagad raya.

Kemampuan berpikir adalah kekayaan yang dimiliki manusia, oleh sebab itu bagaimanapun sederhananya proses berpikirnya tetap mempunyai harga. Harga proses berpikir itu  disesuaikan dengan tingkat kemantangan manusianya dan kemampuan menguasai seperangkat pengetahuan yang ia miliki. Karena proses dan kemampuan berpikir itu ada harganya, maka manusia itu tidak nol. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran konsekwensi tidak ada nol pada diri seseorang adalah ketika memberikan angka sebagai imbalan jerih payah peserta didik setelah ia melakukan suatu tugas atau mengerjakan soal-soal yang diberikan. Puncak penghargaan itu ketika memberikan nilai rapor atau nilai pada ijazah, alangkah ironisnya seandainya dalam nilai rapor atau ijazah siswa tercantum angka nol (0) untuk mata pelajaran tertentu yang ia ikuti.

Angka yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran adalah informasi kompetensi yang dimilikinya, termasuk kompetensi berpikir atau kompetensi kognitif. Jika seorang siswa memiliki kompetensi berpikir tinggi maka, skor yang diperoleh akan tinggi pula. Sebaliknya jika seorang siswa memiliki kompetensi berpikir rendah tentu ia akan memperoleh nilai yang rendah pula. Di sisi lain nilai yang diperoleh siswa bukan sekedar cerminan dari kemampuannya sendiri, tetapi adapula fakktor-faktor eksternal yang berkontribusi secara signifikan, salah satunya adalah tenaga pendidik atau guru yang memberi nilai.

Pada hakikatnya di balik nilai peserta didik itu ada pula nilai kita sebagai evaluator. Buktinya, ketika seorang siswa memperoleh nilai tinggi, juara kelas, juara olimpiade, yang bangga adalah guru pembimbingnya, guru wali kelas, bahkan kepala sekolah ikut berbesar hati, karena merasa berkontribusi menghasilkan siswa pintar tadi. Sebaliknya jika ada siswa yang gagal, tinggal kelas, nilainya rendah, kenapa membebankan kesalahan kepada siswa sendiri, bukankah kita juga ikut bertanggung jawab atas kegagalan siswa itu?Jadi pada hakikatnya, pada nilai rendah yang diterima seorang anak didik itu, sebetulnya ada pula nilai kita sebagai pendidik yaitu nilai tentang kekeliruan kita sebagai seorang tenaga pendidik. Mungkin saja ada kita yang salah, karena tidak memahami karakterisitik peserta didik, tidak menggunakan metode belajar yang tepat, tidak pernah peduli apakah pesan yang disampaikan dalam proses pembelajaran dimengerti atau tidak, atau cara-cara kita yang tidak tepat dalam membuat soal dan memberikan nilai.

Seorang pakar pendidikan bernama Roijakkers (1987) mengatakan bahwa sebenarnya 95% dari kegagalan peserta didik dalam menyelesaikan tugasnya sebagai siswa disebabkan oleh kesalahan para pendidiknya. Pernyataan ini penulis coba hubungkan dengan pernyataan tokoh pendidikan Amerika yang tergabung dalam The Joint Commitee (1994) Mereka mengatakan berikan kami 10 siswa yang anda anggap bodoh bukan ideot, kami bisa membentuknya sesuai dengan keinginan masing-masing.

Jika dua sumber di atas dijadikan acuan, kita semakin sadar bahwa memberikan keputusan-keputusan penilaian radikal apalagi sampai memberi angka nol besar kepada peserta didik adalah cara-cara yang keliru dalam sistem penilaian. Pendidik pada dasarnya adalah seorang yang memberikan bantuan kepada anak didiknya dalam pengembangan proses berpikir. Ingat,   manusia sebagai makhluk berpikir sebenarnya memiliki potensi-potensi yang belum sepenuhnya kelihatan oleh kita. Oleh sebab itu berhati-hati dalam pengambilan keputusan tentang nilai yang diberikan kepada peserta didik, mungkin saja ada faktor eksternal siswa (misalnya kita sebagai guru/dosen yang keliru dalam cara-cara memberikan nilai), yang menyebabkan mereka gagal dalam meraih cita-citanya.

b. Manusia makhluk dinamis & berkembang
Manusia adalah makhluk yang dinamis. Kedinamisan manusia dapat dilihat dari bagaimana ia berkembang dari hari ke hari. Perkembangan manusia itu kadang-kadang di luar dugaan, dari keadaan biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Mungkin kita pernah mengalami dalam keluarga sendiri, melihat teman, tetangga, atau orang lain yg dulunya ketika masa kecil dan remaja sebagai orang yang biasa-biasa saja di sekolahnya, tetapi setelah dewasa ia seorang yang luar biasa. T. A Edison adalah seorang siswa SD atau anak kecil yang dianggap bodoh oleh guru-gurunya, sering kena tegur karena tidak bisa mengerjakan apa-apa, tetapi setelah dewasa Edison adalah penemu listrik, walapun dengan percobaannya sampai yg ke 1000 kali. Penemuan Edison sampai kini bermanfaat bagi kemaslahatan manusia di saentero muka bumi.

Pemahaman bahwa manusia adalah makhluk dinamis mengingatkan kita untuk berhati-hati memberikan keputusan penilaian kepada peserta didik. Satu hal yang perlu tertanam pada diri seorang evaluator bahwa memberikan nilai peserta didik tidak dapat dianggap mudah apalagi sampai memberi nilai sembarangan atau asal jadi. Kalau ada evaluator memberi nilai sembarangan karena dianggap sekedar memberi angka, prinsip ini tidak dapat diterima, sebagaimana dikemukkan di atas, bagi peserta didik nilai adalah persoalan masa depannya.

c. Landasan Kebenaran.
Ada tiga kriteria kebenaran yang dapat dikaitkan dengan cara-cara penilaian dalam pembelajaran. Tiga krteria dimaksud yaitu kriteria koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Kohenrensi maksudnya saling berkaitan, ada hubungan antara hasil dengan proses atau pernyataan-pernyataan sebelumnya dengan kesimpulan yang diberikan. Seorang guru matematika tidak serta merta memberikan nilai terbaik atau terjelek pada hasil kerja siswa, kalau hanya melihat hasil akhirnya saja, tanpa melihat langkah-langkah penyelesaian. Penguji skripsi tidak cukup hanya melihat produk skripsi mahasiswa saja, tanpa menilai kedalaman penguasaan mahasiswa tersebut melalui penyajian dan argumen-argumen yang ia bangun ketika mempertahankan temuannya di hadapan sidang penguji.

Kriteria korespondensi artinya segala sesuatu yang disampaikan atau dihasilkan memang sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Dalam kegiatan pembelajaran banyak ditemui peserta didik dengan upaya rendah, belajar apa adanya, tetapi memperoleh nilai tinggi. Dapat diyakini bahwa nilai tinggi yang diperoleh peserta didik tentulah dari usaha yang lebih, jika tidak hasil tersebut tentu dapat dipertanyakan. Contoh, penerimaan mahasiswa masuk PT 2013 secara on-line, yang dinilai berdasarkan hasil UN dan nilai sekolah ternyata berpotensi terjadi manipulasi data. Artinya nilai yang dimasukkan untuk mendaftar masuk PT bukan nilai yang sebenarnya, tapi adalah nilai rekayasa. Ini terbukti ketika wawancara untuk klarifikasi data. Hasilnya, banyak data yang masuk sebagai data fiktif. Ada perbedaan antara nilai UN dan nilai sekolah dengan data yang dimasukkan ke dalam siswa sebagai hasil rekayasa.
Kaitannya dengan sistem penilaian kelas, hasil belajar peserta didik perlu dikonfirmasi dengan kompetensi lain. Misalnya nilai tugas, kerajinan, disiplin, patuh dan taat pada norma yang berlaku. Itulah sebabnya beberapa bentuk penilaian dalam kurikulum 2013 sangat diajurkan lebih banyak ke penilaian non-kognitif, salah satunya penilaian otentik (authentic assessmant). Penilaian otentik merupakan penilaian untuk melihat kesesuaian hasil dengan proses alamiah yang dilakukan peserta didik.

Pada aspek pragmatis yang berkaitan nilai guna, tenaga pendidik hendaknya memperhatikan apa sasaran penilaian yang diharapkan dari peserta didik. Sasaran penilaian dapat diketahui melalui tujuan pembelajaran, yang tergambar pada kompetensi inti dan dan sub kompetensi yang dirancang sejak awal pembelajaran. Setelah siswa mengerjakan seperangkat tes kita dapat menelusuri apakah kemampuan yang ia miliki sesuai dengan tujuan pembelajaran. Penelusuran dapat dilakukan dengan mewawancarai peserta tes sekitar tingkat pemahaman, kesan-kesan dan pengalaman yang ia miliki.

Ada tiga paham kebenaran yang dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam pengambilan keputusan tentang peserta didik, yaitu paham konstruktifis dan paham idealis.  Pertama, paham konstruktifisme. Paham ini bertolak dari kompetensi kognitif seseorang dimana pengetahuan adalah hasil dari kemampuan mengkostruksi pengalaman yang datang dari berbagai sumber eksternal. Sumber eksternal misalnya guru, orang tua, teman sebaya, atau peristiwa yang terjadi disekitarnya. Dalam pandangan ini kemampuan seseorang dinilai dari apa yang ia pahami dari sejumlah pengalaman yang masuk ke dalam pikirannya. Tugas tenaga pendidik adalah membantu bagaimana perseta didiknya mampu mengkostruk pengalamannya itu menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan. Konsekwensi pandangan knstruktivis pada sistem evaluasi adalah kecenderungan penilaian aspek kognitif yang menggunakan instrumen tes sebagai alat ukurnya.

Kedua, pandangan realist mengatakan bahwa, kebenaran pada apa yang dilihat dalam kehidupan nyata, bukan pada apa yang dikatakannya tapi pada apa yang dibuat dan dihasilkannya.  Pandangan realis dapat diwujudkan dalam pembelajaran yang bersentuhan dengan objek fisik yang sesungguhnya, atau menggunakan model yang dianggap hampir sama dengan bentuk asli. Kegiatan-kegiatan field study, praktikum, kerja kelompok atau individu, menghasilkan suatu produk, dapat dikatakan sebagai pembelajaran yang menganut paham realis.

Konsekwensi paham ini dalam sistem evaluasi dan penilaian adalah perlunya mengembangkan penilaian teknik non-tes. Dengan menggunakan penilaian teknik non-test, banyak kompetensi peserta didik yang termati secara otentik (nyata). Misalnya proses, kinerja, produk, dan perilaku. Itulah sebabnya Messick mengatakan bahwa, some charateristic or trait of the person causes both the test and non test behaviors which are mutual related (Linn, 1996). Pandangan realist cocok dengan cita-cita kurikulum 2013 yang mendorong pembelajaran proses, pembelajaran otentik. Pandangan realis menyertai lingkungan sebagai bagian dari pembelajaran, sebagian pakar menyebutnya sebagai pembelajaran cotextual

Ketiga, gabungan pandangan konstuktifis dan realis. Menurut hemat penulis, kombinasi pandangan ini jauh lebih baik. Pandangan kontruktifis dan realis dianggap  lebih humanis karena memberi kesempatan bagi berkembangnya semua ranah kompetensi peserta didik, baik ranah kognitif, afeksi, da psikomotori. Pandangan ini berimplikasi bahwa untuk mengetahui siapa mansusia itu seutuhnya, maka penilaian yang baik adalah penilaian atas kemampuan holistik. Kombinasi kedua pandangan ini sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional yakni menciptakan manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, jujur, terampil, cerdasa, dan memiliki ilmu pengetahuan. Kombinasi dari kedua pandangan ini dapat dilihat melalui gambar berikut ini.

Landasan Teoretis dan yuridis evaluasi pendidikan

 

Filsafat Geografi

Filsafat Geografi

BAB I PENDAHULUAN

Pengertian

Sebelum membahas pengertian filsafat geografi , kita pahami terlebih dulu arti kata filsafat. Secara etimologi dalam bahasa Arab kata  filsafat berasal dari kata “falsafah“, dalam bahasa Inggris “philosophyI”, dalam bahasa Jerman “Philosophie”. Merujuk ke asal usulnya kata filsafat berasal dari bahasa Yunani “philosophia”. Philisophia terdiri dari dua suku kata; “philein” (cinta), dan “sophia” (kebijaksanaan). Dengan demikian orang yang belajar filsafat pada hakikatnya adalah orang yang berusaha untuk “cinta akan kebijaksanaan”. Padanan dari kata ini adalah  cinta kebaikan, cinta kejujuran, ikhlas, sabar, dan seterusnya. Dengan demikan “filsafat geografi”,  berarti belajar  tentang kebenaran akan fakta geografi, baik  yang berkaitan dengan geografi fisik (phisical geography) maupun geografi sosial atau sering disebut geografi manusia (human geography). Dalam pengertian yang lebih luas, setelah belajar filsafat geografi anda akan menjadi orang yang cinta lingkungan, memelihara lingkungan dari berbagai kerusakan.

Karakteristik Berpikir Filsafat

Dalam menyandingkan filsafat dengan disiplin ilmu tertentu, katakanlah “filsafat geografi” maka perlu terlebih dahulu memahami karakteristik berpikir filsafat. JS Suriasumantri (1999) mengemukakan tiga karakteristik berpikir filsafat yaitu; menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Menyeluruh artinya memandang sesuatu bukan dari satu sudut pandang saja, tapi dari banyak hal. Jika seseorang  dihadapkan pada satu persoalan, ia akan melihat bahwa persoalan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi juga terkait dengan hal-hal lain yang belum diketahui. Selanjutnya “mendasar”, artinya melihat persoalan sampai ke akarnya. Seorang yang berpikir mendasar akan bertanya dan bertanya, selalu penuh selidik, kritis, dan tidak puas (dalam artian positif) dengan  apa yang diperolehnya. Karaktersitik berpikir filsafat berikutnya adalah spekulatif, yakni menetapkan standar yang dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, apa ukuran atau kriteria dari suatu penerimaan, Kapan sesuatu dikatakan benar dan salah, kapan sesuatu diperbolehkan dan kapan tidak diperbolehkan. Dengan demikian berpikir spekulatif dalam filsafat  tidak berarti negatif, tetapi bermakna positif karena itu adalah bentuk dari ketidakberdayaan manusia untuk berpikir menyeluruh dan  mendasar. Berpikir spekulatif artinya berpikir akan keterbatasan. Cobalah anda  bertanya dan terus bertanya, lalu berikanlah jawabannya.  Pada saatnya nanti anda pasti akan lelah untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan anda itu sendiri. M.Hatta dalam sebuah bukunya menceritakan Socrates berdebat dengan guru sofisnya, dalam perdebatan itu terjadi tanya jawab yang sangat lama. Namun pada akhirnya kedua filsuf itu sepakat bahwa, “yang kita tahu, kita sama-sama tidak tahu”. Lalu apa kaitannya antara belajar  disiplin ilmu tertentu (dalam hal ini geografi) dengan karakteristik berpikir filsafat tersebut. Kaitannya adalah; pelajarilah ilmu itu secara menyeluruh dan  mendasar, bertanya dan bertanyalah, jangan cepat puas, pelajari sampai ke akar-akarnya. Geografi dapat dipelajari secara menyeluruh, bagaimana kaitannya dengan ilmu lain seperti ilmu sejarah, ekonomi, sosiologi, fisika, dan seterusnya. Pelajarilah pulalah secara mendasar, namun ingat tidak semua dapat anda ketahui. Pada saat anda merasakan adanya keterbatasan maka anda membatasi diri dengan menetapkan kriteria, ruang lingkup, dan seterusnya. Dalam kegiatan metode ilmiah, membuat “fokus” atau  “batasan masalah” penelitian merupakan usaha spekulatif yang diperbolehkan dan diakui oleh para pakar ilmiah.

Pengetahuan, Ilmu, dan Metode Ilmiah

Manusia dianugerahi oleh Allah Tuhan YME memiliki alat sensor yang mampu menangkap berbagai gejala dan peristiwa yang ada di sekelilingnya. Alat sensor yang dimaksud adalah ”indera”. Ada lima macam indera manusia yaitu; melihat, mendengar, merasa, mencium, dan meraba. Kelima macam alat indera ini disebut dengan panca indera. Melalui panca indera inilah kemudian manusia menjadi tahu akan kondisi di sekitarnya, dengan kata lain manusia memiliki pengetahuan. Misalnya, seseorang tidak akan melewati suatu ruas jalan pada saat hujan karena ia tahu melalui pengalaman bahwa di sana sering terjadi tanah longsor yang membahayakan keselamatan.  Penulis suatu ketika lewat di depan rumah orang dan tahu kalau di rumah tersebut orang sedang memasak rendang. Walau tidak melihat, tetapi penciuman dapat memberi tahu bahwa yang dimasak itu adalah rendang. Jadi untuk sampai pada kesimpulan orang  sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang suatu objek, kondisi fisik lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Melalui pengetahuan manusia mampu melangsungkan kehidupannya di muka bumi. Menurut JS Suriasumantri (1999), dalam hal memiliki pengetahuan ini ada empat kelompok manusia  yaitu;               1)  Orang yang tahu di tahu-nya, 2) orang yang tidak tahu di tahu-nya, 3) orang yang tahu di tidak tahu-nya, dan 4) orang yang tidak tahu di tidak tahu-nya. Dari empat kelompok ini, Socrates dengan teman debatnya (sebagaimana cerita di atas) termasuk pada kelompok orang yang tahu di tidak tahu-nya.  Dengan kata lain, orang yang selalu belajar dan belajar, tidak puas dengan apa yang sudah ia ketahui, pada hakikatnya adalah orang yang tahu dengan ketidak tahuannya. Upaya menuntut ilmu yang anda lakukan, meskipun penuh dengan tantangan, benyak jalan berliku, mendaki dan menurun, adalah karena anda adalah orang yang tahu di ketidak tahuan anda, dan anda adalah temannya Socrates. Kemampuan berpikir manusia mampu menghasilkan ilmu.   Dengan menggunakan ilmu manusia mampu merubah keadaannya dari tidak berdaya menjadi berdaya, dengan ilmu manusia itu menjadi manusia yang seutuhnya. Namun ilmu yang dimiliki manusia terbatas, tidak semuanya yang dapat diketahui manusia di jagat raya ini. Pengetahuan dan ilmu seseorang hanya sebatas yang ia pelajari. Seorang ahli matematika, hanya tahu dengan matematika. Meskipun ia dapat menjelaskan kepada orang lain bahwa ia juga mengaku sebagai ahli sejarah, tetapi orang lain tidak akan memberikan apresiasi terhadap pengakuannya itu. Untuk sampai kepada kepemilikan ilmu yang sesungguhnya atau dengan kata lain diterima secara ilmiah maka perjalanann ilmu tidaklah mudah, karena ilmu membutuhkan pembuktian-pembuktian. Pembuktian sebagaimana diketahui butuh dukungan teoretis dan dukungan empiris. Seseorang perlu melakukan penelitian (research), dan itulah metode ilmiah. Dengan kata lain; metode ilmiah dapat dikatakan sebagai jembatan dari pengetahuan menuju ilmu, puncak dari ilmu itu adalah teori dan hukum. Penelitian yang anda lakukan dalam rangka menyelesaikan skripsi, tesis, dan disertasi, pada hakikatnya adalah usaha anda untuk mendapatkan pengetahuan, ilmu, dan teori baru untuk menyelesaikan masalah yang ada di sekitar anda.

Pengetahuan, Ilmu, dan KKNI

Belajar atau kuliah di Perguruan Tinggi (PT) pada hakikatnya merupakan aplikasi kesadaran tahu-nya kita akan ketidaktahuan. Melalui pengalaman belajar mahasiswa semakin berpengatahuan, semakin berilmu, dan semakin terampil. Pengetahuan dan ilmu serta keterampilan  itu perlu dihargai sesuai dengan tingkat atau jenjang pendidikan yang ditempuh. Salah satu penghargaan yang diberikan adalah pemberian gelar keahlian kepada seseorang yang disandingkan pada nama aslinya. Misalnya; gelar S.Pd untuk sarjana pendidikan (S1), ST (Sarjana Teknik S1), MT (Magister Teknik-S2)  M.Pd untuk magister pendidikan  (S2), dan Dr   untuk jenjang S3, dan seterusnya. Pemberian gelar keahlian tersebut kemudian dicantumkan pada selembar kertas berharga yang disebut ijazah. Ketika seseorang telah memiliki gelar keahlian atau gelar kesarjanaan tertentu, secara tersirat pada dirinya melekat  satu kompetensi tertentu sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Jenjang kompetensi tersebut dikenal dengan istilah KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 tahun 2012, KKNI adalah penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan yang diperoleh dengan struktur pekerjaan seseorang. Dengan kata lain KKNI juga dapat dikatakan sebagai kualifikasi penguasaan atau capaian keilmuan, keterampilan seseorang yang menentukan akan kemampuan kerja seseorang di tengah masyarakat. Dalam Perpress Nomor 8 tahun 2012 tersebut dijelaskan bahwa; KKNI terdiri dari 9 jenjang yaitu; jenjang 1-3 (tingkat operator), jenjang 4-6 (teknisi/analis), dan jenjang 7-9 (jabatan ahli). Dijelaskan pula bahwa; jenjang S1/profesi berada pada kualifikasi 7-8, jenjang S2 berada pada jenjang minimal kualifikasi 8, sedangkan jenjang S3 berkualifikasi 9. Di PT orientasi penguasaan keilmuan mahasiswa adalah teori. Kaitan antara KKNI dengan penguasaan teori adalah; S1 =  menggunakan dan mengaplikasikan teori, S2 = Minimal mengaplikasikan teori, mengaplikasikan berbagai disipilin ilmu bagi pemecahan masalah,  S3 = menemukan teori, mengaplikasikan berbagai disiplin ilmu bagi pemecahan masalah,  sampai pada pengakuan nasional bahkan internasional. Bagi mahasiswa di PT yang tengah sibuk mempersiapkan diri untuk penyelesaian tugas akhir, menulis skripsi, tesis, dan disertasi, rambu-rambu KKNI hendaknya  dijadikan sebagai titik tolak dalam menetapkan dan merumuskan masalah penelitiannya.

Teori Kebenaran

Dari beberapa literatur yang saya baca, sekurangnya ada empat macam kebenaran. Ke empat macam tersebut antara lain; 1) Kebenaran koherensi, 2) kebenaran korespondensi, 3) kebenaran pragmatis, dan 4) kebenaran hakiki (kebenaran menurut agama). Kebenaran koherensi adalah kebenaran yang berkaitan dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Kebenaran korespondensi adalah kebanaran yang bersesuaian dengan objek yang dituju, atau sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Kebenaran pragmatis yaitu kebenaran berdasarkan nilai guna, apakah bermanfaat bagi kehidupan atau tidak sama sekali. Kebenaran hakiki disebut juga sebagai kebenaran religeous, mutlak, dan tidak ada keraguan sedikitpun untuk tidak mempercayainya.

Dalam keehidupan sehari-hari tanpa disadari kriteria kebenaran ini sering muncul. Misalnya, ketika seseorang berdebat tentang sesuatu, lalu untuk mempertegas kebaran yang ia sampaikan maka keluarlah ucapan, “kalau tidak percaya, bertanyalah ke bapak  X“. Dalam sebuah karya ilmiah kriteria kebenaran tersebut akan terlihat pada bab kajian teori, di mana penulis berusaha mencari literatur terkait dengan variabel yang disekidiki. …