Evaluasi Pendidikan & Pengajaran Geografi

Evaluasi Pendidikan & Pengajaran Geografi

BAB I PENDAHULUAN

A. Pengertian

Evaluasi dalam bahasa Inggris disebut evaluation, oleh Nitko (1996)  diartikan  the process of making value  judgment (proses untuk mengambil keputusan yang tepat). Keputusan yang dimaksud terkait dengan keputusan apa saja tentang suatu program. Stufflebeam & Shinkfield (2007) menyebutkan kata  evaluasi oriented to assessing and helping to improve all aspects of society, …..school programs, libraries, museums, hospitals, courts, universities, …and many more  (evaluasi berorientasi menilai dan meningkatkan semua aspek di masyarakat seperti; program-program sekolah, perpustakaan, museum, lembaga pengadilan, universitas, dan lainnya).  Dengan demikian jelaslah bahwa, istilah evaluasi merupakan istilah umum yang dapat saja dugunakan dalam berbagai kepentingan.

Istilah lain yang berhubungan dengan kata evaluasi adalah penilaian, tes, dan pengukuran. Pemahaman mengenai perbedaan ketiga istilah ini termasuk penting, terutama bagi seorang calon tenaga pendidik. Dari berbagai kesempatan seminar/ ceramah ilmiah yang pernah penulis ikuti, ternyata masih banyak di antara peserta yang menyamakan saja penggunaan ketiga istilah tersebut dalam keseharian. Untuk itu, berikut ini akan dijelaskan pengertian dari ketiga istilah tersebut.

1. Penilaian (assessment), adalah proses mendapatkan informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan, misalnya keputusan tentang siswa, kurikulum,  program pendidikan, dan program lainnya.

2. Tes (test),  konsep yang lebih sempit dari penilaian dan dapat diartikan sebagai  instrumen  untuk mengobservasi dan menggambarkan satu atau lebih karakteristik seseorang dengan ukuran-ukuran tertentu.

3. Pengukuran (measurement) adalah prosedur  mendapatkan angka dari suatu objek nilai. Jika yang dinilai siswa, maka pengukuran adalah prosedur untuk mendapatkan angka tentang siswa, tentang hasil belajar siswa.

Penulis mencoba menganalogikan penggunaan istilah evaluasi, penilaian, tes, dan pengukuran dalam kehidupan sehari-hari. Seperti ibu-ibu  berbelanja di pasar yang akan membeli kacang rebus.  Kebiasaan ibu-ibu sebelum menetapkan pilihannya untuk membeli  adalah melihat-lihat dulu, memperhatikan warna kulit kacang, bertanya tentang daerah asal kacang,  memperhatikan tampilan si penjual kacang, sampai mencoba lalu memakan beberapa biji kacang. Tapi, jangan coba-coba kalau mencoba duren, satu duren saja sudah sama dengan membelinya. Lalu ditanyakan harga per liter-nya, kalau 1 liter harganya Rp.9.000,- berarti  dibeli 2 liter harganya Rp. 18.000,-. Setelah tawar menawar, sang ibu memutuskan untuk membeli kacang tersebut dan terjadilah putusan jual-beli. Dari sekelumit cerita ini maka; kegiatan mendapatkan informasi tentang kacang adalah kegiatan penilaian, liter sebagai alat ukur adalah tes, proses pengalian angka 2 x Rp.9.000 = Rp. 18.000,- adalah pengukuran, sedangkan putusan untuk membeli adalah evaluasi.  

Jika cerita di atas dibawa ke dalam proses pembelajaran di sekolah, maka kegiatan-kegiatan yang berusaha untuk mengetahui latar belakang siswa, mengetahui kemampuan awal siswa, melakukan free test pada dasarnya adalah kegiatan penilaian, sehingga guru memahami betul tentang karakteristik siswa yang dihadapinya. Selanjutnya setelah guru mengajar, siswa diberikan ulangan atau post test, maka lembar ujian atau soal yang diberikan itu adalah tes (alat ukur). Kemudian setelah siswa menjawab soal ujian diberikan skor, beberapa skor ujian diolah untuk dijadikan sebagai nilai akhir, dan muncullah angka hasil belajar misalnya 90, 92, 87, 65, dan lain sebagainya, maka inilah yang disebut dengan pengukuran. Pada akhirnya tibalah saatnya pada penetapan kenaikan kelas, kelulusan sekolah, maka putusan yang diambil untuk naik-tidak naik kelas, lulus-tidak lulus sekolah adalah keputusan evaluatif.

Selanjutnya istilah evaluasi pembelajaran  lebih spesisifik, yaitu kegiatan evaluasi yang diselenggarakan di sekolah. Orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah siswa, guru dan prangkat sekolah, atau mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi. Kegiatan-kegiatan membuat soal, mengujikan soal, menilai mutu butir soal (validitas, reabilitas, indek kesukaran, indek daya beda, keberfungsian pengecoh), memberikan feed back hasil belajar, merupakan kegiatan yang  berkaitan dengan evaluasi pembelajaran.

B. Landasan Evaluasi Pendidikan & Pengajaran

Sekurangnya ada 3 landasan atau pijakan bagi seorang tenaga pendidik dalam melakukan kegiatan evaluasi pendidikan dan pengajaran di sekolah. Tiga landasan tersebut adalah; (1) manusia sebagai makhluk berpikir, (2) manusia makhluk yang dinamis dan berkembang, 3) landasan kebenaran.

1. Landasan Filosofis

a. Manusia sebagai Makhluk Berpikir
Berpikir adalah ciri utama dan sekaligus pembeda manusia dengan makhluk Tuhan yang lain. Semenjak kecil sudah ada proses berpikir dalam diri manusia. Semakin bertambah umur semakin meningkat kamampuan berpikirnya, pengetahuan yang dimilikinya juga semakin bertambah. Puncak kegiatan berpikir seseorang ditandai ketika memasuki usia sekolah, menapaki jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan formal maupun non formal. Jenjang pendidikan formal mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan Perguruan Tinggi (PT). Jenjang non formal misalnya pengembangan diri pada lembaga-lembaga kursus, dan lembaga-lembaga keterampilan lainnya.

Bukti bahwa manusia sebagai makluk berpikir dapat dilihat dari kemampuannya memahami berbagai fenomena kehidupan dan mengolah alam sekitar menjadi lebih bermanfaat untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Proses berpikir mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Mulai dari cara bertahan untuk hidup, melindungi diri dari bahaya, menghindari macet, membuat masakan agar lebih enak, menemukan obat-obatan untuk kesehatan, menemukan energi listrik untuk penerangan dan berbagai keperluan hidup, sampai menemukan fenomena planet yang sangat menakjubkan di jagad raya.

Kemampuan berpikir adalah kekayaan yang dimiliki manusia, oleh sebab itu bagaimanapun sederhananya proses berpikirnya tetap mempunyai harga. Harga proses berpikir itu  disesuaikan dengan tingkat kemantangan manusianya dan kemampuan menguasai seperangkat pengetahuan yang ia miliki. Karena proses dan kemampuan berpikir itu ada harganya, maka manusia itu tidak nol. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran konsekwensi tidak ada nol pada diri seseorang adalah ketika memberikan angka sebagai imbalan jerih payah peserta didik setelah ia melakukan suatu tugas atau mengerjakan soal-soal yang diberikan. Puncak penghargaan itu ketika memberikan nilai rapor atau nilai pada ijazah, alangkah ironisnya seandainya dalam nilai rapor atau ijazah siswa tercantum angka nol (0) untuk mata pelajaran tertentu yang ia ikuti.

Angka yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran adalah informasi kompetensi yang dimilikinya, termasuk kompetensi berpikir atau kompetensi kognitif. Jika seorang siswa memiliki kompetensi berpikir tinggi maka, skor yang diperoleh akan tinggi pula. Sebaliknya jika seorang siswa memiliki kompetensi berpikir rendah tentu ia akan memperoleh nilai yang rendah pula. Di sisi lain nilai yang diperoleh siswa bukan sekedar cerminan dari kemampuannya sendiri, tetapi adapula fakktor-faktor eksternal yang berkontribusi secara signifikan, salah satunya adalah tenaga pendidik atau guru yang memberi nilai.

Pada hakikatnya di balik nilai peserta didik itu ada pula nilai kita sebagai evaluator. Buktinya, ketika seorang siswa memperoleh nilai tinggi, juara kelas, juara olimpiade, yang bangga adalah guru pembimbingnya, guru wali kelas, bahkan kepala sekolah ikut berbesar hati, karena merasa berkontribusi menghasilkan siswa pintar tadi. Sebaliknya jika ada siswa yang gagal, tinggal kelas, nilainya rendah, kenapa membebankan kesalahan kepada siswa sendiri, bukankah kita juga ikut bertanggung jawab atas kegagalan siswa itu?Jadi pada hakikatnya, pada nilai rendah yang diterima seorang anak didik itu, sebetulnya ada pula nilai kita sebagai pendidik yaitu nilai tentang kekeliruan kita sebagai seorang tenaga pendidik. Mungkin saja ada kita yang salah, karena tidak memahami karakterisitik peserta didik, tidak menggunakan metode belajar yang tepat, tidak pernah peduli apakah pesan yang disampaikan dalam proses pembelajaran dimengerti atau tidak, atau cara-cara kita yang tidak tepat dalam membuat soal dan memberikan nilai.

Seorang pakar pendidikan bernama Roijakkers (1987) mengatakan bahwa sebenarnya 95% dari kegagalan peserta didik dalam menyelesaikan tugasnya sebagai siswa disebabkan oleh kesalahan para pendidiknya. Pernyataan ini penulis coba hubungkan dengan pernyataan tokoh pendidikan Amerika yang tergabung dalam The Joint Commitee (1994) Mereka mengatakan berikan kami 10 siswa yang anda anggap bodoh bukan ideot, kami bisa membentuknya sesuai dengan keinginan masing-masing.

Jika dua sumber di atas dijadikan acuan, kita semakin sadar bahwa memberikan keputusan-keputusan penilaian radikal apalagi sampai memberi angka nol besar kepada peserta didik adalah cara-cara yang keliru dalam sistem penilaian. Pendidik pada dasarnya adalah seorang yang memberikan bantuan kepada anak didiknya dalam pengembangan proses berpikir. Ingat,   manusia sebagai makhluk berpikir sebenarnya memiliki potensi-potensi yang belum sepenuhnya kelihatan oleh kita. Oleh sebab itu berhati-hati dalam pengambilan keputusan tentang nilai yang diberikan kepada peserta didik, mungkin saja ada faktor eksternal siswa (misalnya kita sebagai guru/dosen yang keliru dalam cara-cara memberikan nilai), yang menyebabkan mereka gagal dalam meraih cita-citanya.

b. Manusia makhluk dinamis & berkembang
Manusia adalah makhluk yang dinamis. Kedinamisan manusia dapat dilihat dari bagaimana ia berkembang dari hari ke hari. Perkembangan manusia itu kadang-kadang di luar dugaan, dari keadaan biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Mungkin kita pernah mengalami dalam keluarga sendiri, melihat teman, tetangga, atau orang lain yg dulunya ketika masa kecil dan remaja sebagai orang yang biasa-biasa saja di sekolahnya, tetapi setelah dewasa ia seorang yang luar biasa. T. A Edison adalah seorang siswa SD atau anak kecil yang dianggap bodoh oleh guru-gurunya, sering kena tegur karena tidak bisa mengerjakan apa-apa, tetapi setelah dewasa Edison adalah penemu listrik, walapun dengan percobaannya sampai yg ke 1000 kali. Penemuan Edison sampai kini bermanfaat bagi kemaslahatan manusia di saentero muka bumi.

Pemahaman bahwa manusia adalah makhluk dinamis mengingatkan kita untuk berhati-hati memberikan keputusan penilaian kepada peserta didik. Satu hal yang perlu tertanam pada diri seorang evaluator bahwa memberikan nilai peserta didik tidak dapat dianggap mudah apalagi sampai memberi nilai sembarangan atau asal jadi. Kalau ada evaluator memberi nilai sembarangan karena dianggap sekedar memberi angka, prinsip ini tidak dapat diterima, sebagaimana dikemukkan di atas, bagi peserta didik nilai adalah persoalan masa depannya.

c. Landasan Kebenaran.
Ada tiga kriteria kebenaran yang dapat dikaitkan dengan cara-cara penilaian dalam pembelajaran. Tiga krteria dimaksud yaitu kriteria koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Kohenrensi maksudnya saling berkaitan, ada hubungan antara hasil dengan proses atau pernyataan-pernyataan sebelumnya dengan kesimpulan yang diberikan. Seorang guru matematika tidak serta merta memberikan nilai terbaik atau terjelek pada hasil kerja siswa, kalau hanya melihat hasil akhirnya saja, tanpa melihat langkah-langkah penyelesaian. Penguji skripsi tidak cukup hanya melihat produk skripsi mahasiswa saja, tanpa menilai kedalaman penguasaan mahasiswa tersebut melalui penyajian dan argumen-argumen yang ia bangun ketika mempertahankan temuannya di hadapan sidang penguji.

Kriteria korespondensi artinya segala sesuatu yang disampaikan atau dihasilkan memang sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Dalam kegiatan pembelajaran banyak ditemui peserta didik dengan upaya rendah, belajar apa adanya, tetapi memperoleh nilai tinggi. Dapat diyakini bahwa nilai tinggi yang diperoleh peserta didik tentulah dari usaha yang lebih, jika tidak hasil tersebut tentu dapat dipertanyakan. Contoh, penerimaan mahasiswa masuk PT 2013 secara on-line, yang dinilai berdasarkan hasil UN dan nilai sekolah ternyata berpotensi terjadi manipulasi data. Artinya nilai yang dimasukkan untuk mendaftar masuk PT bukan nilai yang sebenarnya, tapi adalah nilai rekayasa. Ini terbukti ketika wawancara untuk klarifikasi data. Hasilnya, banyak data yang masuk sebagai data fiktif. Ada perbedaan antara nilai UN dan nilai sekolah dengan data yang dimasukkan ke dalam siswa sebagai hasil rekayasa.
Kaitannya dengan sistem penilaian kelas, hasil belajar peserta didik perlu dikonfirmasi dengan kompetensi lain. Misalnya nilai tugas, kerajinan, disiplin, patuh dan taat pada norma yang berlaku. Itulah sebabnya beberapa bentuk penilaian dalam kurikulum 2013 sangat diajurkan lebih banyak ke penilaian non-kognitif, salah satunya penilaian otentik (authentic assessmant). Penilaian otentik merupakan penilaian untuk melihat kesesuaian hasil dengan proses alamiah yang dilakukan peserta didik.

Pada aspek pragmatis yang berkaitan nilai guna, tenaga pendidik hendaknya memperhatikan apa sasaran penilaian yang diharapkan dari peserta didik. Sasaran penilaian dapat diketahui melalui tujuan pembelajaran, yang tergambar pada kompetensi inti dan dan sub kompetensi yang dirancang sejak awal pembelajaran. Setelah siswa mengerjakan seperangkat tes kita dapat menelusuri apakah kemampuan yang ia miliki sesuai dengan tujuan pembelajaran. Penelusuran dapat dilakukan dengan mewawancarai peserta tes sekitar tingkat pemahaman, kesan-kesan dan pengalaman yang ia miliki.

Ada tiga paham kebenaran yang dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam pengambilan keputusan tentang peserta didik, yaitu paham konstruktifis dan paham idealis.  Pertama, paham konstruktifisme. Paham ini bertolak dari kompetensi kognitif seseorang dimana pengetahuan adalah hasil dari kemampuan mengkostruksi pengalaman yang datang dari berbagai sumber eksternal. Sumber eksternal misalnya guru, orang tua, teman sebaya, atau peristiwa yang terjadi disekitarnya. Dalam pandangan ini kemampuan seseorang dinilai dari apa yang ia pahami dari sejumlah pengalaman yang masuk ke dalam pikirannya. Tugas tenaga pendidik adalah membantu bagaimana perseta didiknya mampu mengkostruk pengalamannya itu menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan. Konsekwensi pandangan knstruktivis pada sistem evaluasi adalah kecenderungan penilaian aspek kognitif yang menggunakan instrumen tes sebagai alat ukurnya.

Kedua, pandangan realist mengatakan bahwa, kebenaran pada apa yang dilihat dalam kehidupan nyata, bukan pada apa yang dikatakannya tapi pada apa yang dibuat dan dihasilkannya.  Pandangan realis dapat diwujudkan dalam pembelajaran yang bersentuhan dengan objek fisik yang sesungguhnya, atau menggunakan model yang dianggap hampir sama dengan bentuk asli. Kegiatan-kegiatan field study, praktikum, kerja kelompok atau individu, menghasilkan suatu produk, dapat dikatakan sebagai pembelajaran yang menganut paham realis.

Konsekwensi paham ini dalam sistem evaluasi dan penilaian adalah perlunya mengembangkan penilaian teknik non-tes. Dengan menggunakan penilaian teknik non-test, banyak kompetensi peserta didik yang termati secara otentik (nyata). Misalnya proses, kinerja, produk, dan perilaku. Itulah sebabnya Messick mengatakan bahwa, some charateristic or trait of the person causes both the test and non test behaviors which are mutual related (Linn, 1996). Pandangan realist cocok dengan cita-cita kurikulum 2013 yang mendorong pembelajaran proses, pembelajaran otentik. Pandangan realis menyertai lingkungan sebagai bagian dari pembelajaran, sebagian pakar menyebutnya sebagai pembelajaran cotextual

Ketiga, gabungan pandangan konstuktifis dan realis. Menurut hemat penulis, kombinasi pandangan ini jauh lebih baik. Pandangan kontruktifis dan realis dianggap  lebih humanis karena memberi kesempatan bagi berkembangnya semua ranah kompetensi peserta didik, baik ranah kognitif, afeksi, da psikomotori. Pandangan ini berimplikasi bahwa untuk mengetahui siapa mansusia itu seutuhnya, maka penilaian yang baik adalah penilaian atas kemampuan holistik. Kombinasi kedua pandangan ini sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional yakni menciptakan manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, jujur, terampil, cerdasa, dan memiliki ilmu pengetahuan. Kombinasi dari kedua pandangan ini dapat dilihat melalui gambar berikut ini.

Landasan Teoretis dan yuridis evaluasi pendidikan

 

Tinggalkan komentar