Filsafat Geografi

Filsafat Geografi

BAB I PENDAHULUAN

Pengertian

Sebelum membahas pengertian filsafat geografi , kita pahami terlebih dulu arti kata filsafat. Secara etimologi dalam bahasa Arab kata  filsafat berasal dari kata “falsafah“, dalam bahasa Inggris “philosophyI”, dalam bahasa Jerman “Philosophie”. Merujuk ke asal usulnya kata filsafat berasal dari bahasa Yunani “philosophia”. Philisophia terdiri dari dua suku kata; “philein” (cinta), dan “sophia” (kebijaksanaan). Dengan demikian orang yang belajar filsafat pada hakikatnya adalah orang yang berusaha untuk “cinta akan kebijaksanaan”. Padanan dari kata ini adalah  cinta kebaikan, cinta kejujuran, ikhlas, sabar, dan seterusnya. Dengan demikan “filsafat geografi”,  berarti belajar  tentang kebenaran akan fakta geografi, baik  yang berkaitan dengan geografi fisik (phisical geography) maupun geografi sosial atau sering disebut geografi manusia (human geography). Dalam pengertian yang lebih luas, setelah belajar filsafat geografi anda akan menjadi orang yang cinta lingkungan, memelihara lingkungan dari berbagai kerusakan.

Karakteristik Berpikir Filsafat

Dalam menyandingkan filsafat dengan disiplin ilmu tertentu, katakanlah “filsafat geografi” maka perlu terlebih dahulu memahami karakteristik berpikir filsafat. JS Suriasumantri (1999) mengemukakan tiga karakteristik berpikir filsafat yaitu; menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Menyeluruh artinya memandang sesuatu bukan dari satu sudut pandang saja, tapi dari banyak hal. Jika seseorang  dihadapkan pada satu persoalan, ia akan melihat bahwa persoalan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi juga terkait dengan hal-hal lain yang belum diketahui. Selanjutnya “mendasar”, artinya melihat persoalan sampai ke akarnya. Seorang yang berpikir mendasar akan bertanya dan bertanya, selalu penuh selidik, kritis, dan tidak puas (dalam artian positif) dengan  apa yang diperolehnya. Karaktersitik berpikir filsafat berikutnya adalah spekulatif, yakni menetapkan standar yang dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, apa ukuran atau kriteria dari suatu penerimaan, Kapan sesuatu dikatakan benar dan salah, kapan sesuatu diperbolehkan dan kapan tidak diperbolehkan. Dengan demikian berpikir spekulatif dalam filsafat  tidak berarti negatif, tetapi bermakna positif karena itu adalah bentuk dari ketidakberdayaan manusia untuk berpikir menyeluruh dan  mendasar. Berpikir spekulatif artinya berpikir akan keterbatasan. Cobalah anda  bertanya dan terus bertanya, lalu berikanlah jawabannya.  Pada saatnya nanti anda pasti akan lelah untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan anda itu sendiri. M.Hatta dalam sebuah bukunya menceritakan Socrates berdebat dengan guru sofisnya, dalam perdebatan itu terjadi tanya jawab yang sangat lama. Namun pada akhirnya kedua filsuf itu sepakat bahwa, “yang kita tahu, kita sama-sama tidak tahu”. Lalu apa kaitannya antara belajar  disiplin ilmu tertentu (dalam hal ini geografi) dengan karakteristik berpikir filsafat tersebut. Kaitannya adalah; pelajarilah ilmu itu secara menyeluruh dan  mendasar, bertanya dan bertanyalah, jangan cepat puas, pelajari sampai ke akar-akarnya. Geografi dapat dipelajari secara menyeluruh, bagaimana kaitannya dengan ilmu lain seperti ilmu sejarah, ekonomi, sosiologi, fisika, dan seterusnya. Pelajarilah pulalah secara mendasar, namun ingat tidak semua dapat anda ketahui. Pada saat anda merasakan adanya keterbatasan maka anda membatasi diri dengan menetapkan kriteria, ruang lingkup, dan seterusnya. Dalam kegiatan metode ilmiah, membuat “fokus” atau  “batasan masalah” penelitian merupakan usaha spekulatif yang diperbolehkan dan diakui oleh para pakar ilmiah.

Pengetahuan, Ilmu, dan Metode Ilmiah

Manusia dianugerahi oleh Allah Tuhan YME memiliki alat sensor yang mampu menangkap berbagai gejala dan peristiwa yang ada di sekelilingnya. Alat sensor yang dimaksud adalah ”indera”. Ada lima macam indera manusia yaitu; melihat, mendengar, merasa, mencium, dan meraba. Kelima macam alat indera ini disebut dengan panca indera. Melalui panca indera inilah kemudian manusia menjadi tahu akan kondisi di sekitarnya, dengan kata lain manusia memiliki pengetahuan. Misalnya, seseorang tidak akan melewati suatu ruas jalan pada saat hujan karena ia tahu melalui pengalaman bahwa di sana sering terjadi tanah longsor yang membahayakan keselamatan.  Penulis suatu ketika lewat di depan rumah orang dan tahu kalau di rumah tersebut orang sedang memasak rendang. Walau tidak melihat, tetapi penciuman dapat memberi tahu bahwa yang dimasak itu adalah rendang. Jadi untuk sampai pada kesimpulan orang  sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang suatu objek, kondisi fisik lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Melalui pengetahuan manusia mampu melangsungkan kehidupannya di muka bumi. Menurut JS Suriasumantri (1999), dalam hal memiliki pengetahuan ini ada empat kelompok manusia  yaitu;               1)  Orang yang tahu di tahu-nya, 2) orang yang tidak tahu di tahu-nya, 3) orang yang tahu di tidak tahu-nya, dan 4) orang yang tidak tahu di tidak tahu-nya. Dari empat kelompok ini, Socrates dengan teman debatnya (sebagaimana cerita di atas) termasuk pada kelompok orang yang tahu di tidak tahu-nya.  Dengan kata lain, orang yang selalu belajar dan belajar, tidak puas dengan apa yang sudah ia ketahui, pada hakikatnya adalah orang yang tahu dengan ketidak tahuannya. Upaya menuntut ilmu yang anda lakukan, meskipun penuh dengan tantangan, benyak jalan berliku, mendaki dan menurun, adalah karena anda adalah orang yang tahu di ketidak tahuan anda, dan anda adalah temannya Socrates. Kemampuan berpikir manusia mampu menghasilkan ilmu.   Dengan menggunakan ilmu manusia mampu merubah keadaannya dari tidak berdaya menjadi berdaya, dengan ilmu manusia itu menjadi manusia yang seutuhnya. Namun ilmu yang dimiliki manusia terbatas, tidak semuanya yang dapat diketahui manusia di jagat raya ini. Pengetahuan dan ilmu seseorang hanya sebatas yang ia pelajari. Seorang ahli matematika, hanya tahu dengan matematika. Meskipun ia dapat menjelaskan kepada orang lain bahwa ia juga mengaku sebagai ahli sejarah, tetapi orang lain tidak akan memberikan apresiasi terhadap pengakuannya itu. Untuk sampai kepada kepemilikan ilmu yang sesungguhnya atau dengan kata lain diterima secara ilmiah maka perjalanann ilmu tidaklah mudah, karena ilmu membutuhkan pembuktian-pembuktian. Pembuktian sebagaimana diketahui butuh dukungan teoretis dan dukungan empiris. Seseorang perlu melakukan penelitian (research), dan itulah metode ilmiah. Dengan kata lain; metode ilmiah dapat dikatakan sebagai jembatan dari pengetahuan menuju ilmu, puncak dari ilmu itu adalah teori dan hukum. Penelitian yang anda lakukan dalam rangka menyelesaikan skripsi, tesis, dan disertasi, pada hakikatnya adalah usaha anda untuk mendapatkan pengetahuan, ilmu, dan teori baru untuk menyelesaikan masalah yang ada di sekitar anda.

Pengetahuan, Ilmu, dan KKNI

Belajar atau kuliah di Perguruan Tinggi (PT) pada hakikatnya merupakan aplikasi kesadaran tahu-nya kita akan ketidaktahuan. Melalui pengalaman belajar mahasiswa semakin berpengatahuan, semakin berilmu, dan semakin terampil. Pengetahuan dan ilmu serta keterampilan  itu perlu dihargai sesuai dengan tingkat atau jenjang pendidikan yang ditempuh. Salah satu penghargaan yang diberikan adalah pemberian gelar keahlian kepada seseorang yang disandingkan pada nama aslinya. Misalnya; gelar S.Pd untuk sarjana pendidikan (S1), ST (Sarjana Teknik S1), MT (Magister Teknik-S2)  M.Pd untuk magister pendidikan  (S2), dan Dr   untuk jenjang S3, dan seterusnya. Pemberian gelar keahlian tersebut kemudian dicantumkan pada selembar kertas berharga yang disebut ijazah. Ketika seseorang telah memiliki gelar keahlian atau gelar kesarjanaan tertentu, secara tersirat pada dirinya melekat  satu kompetensi tertentu sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Jenjang kompetensi tersebut dikenal dengan istilah KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 tahun 2012, KKNI adalah penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan yang diperoleh dengan struktur pekerjaan seseorang. Dengan kata lain KKNI juga dapat dikatakan sebagai kualifikasi penguasaan atau capaian keilmuan, keterampilan seseorang yang menentukan akan kemampuan kerja seseorang di tengah masyarakat. Dalam Perpress Nomor 8 tahun 2012 tersebut dijelaskan bahwa; KKNI terdiri dari 9 jenjang yaitu; jenjang 1-3 (tingkat operator), jenjang 4-6 (teknisi/analis), dan jenjang 7-9 (jabatan ahli). Dijelaskan pula bahwa; jenjang S1/profesi berada pada kualifikasi 7-8, jenjang S2 berada pada jenjang minimal kualifikasi 8, sedangkan jenjang S3 berkualifikasi 9. Di PT orientasi penguasaan keilmuan mahasiswa adalah teori. Kaitan antara KKNI dengan penguasaan teori adalah; S1 =  menggunakan dan mengaplikasikan teori, S2 = Minimal mengaplikasikan teori, mengaplikasikan berbagai disipilin ilmu bagi pemecahan masalah,  S3 = menemukan teori, mengaplikasikan berbagai disiplin ilmu bagi pemecahan masalah,  sampai pada pengakuan nasional bahkan internasional. Bagi mahasiswa di PT yang tengah sibuk mempersiapkan diri untuk penyelesaian tugas akhir, menulis skripsi, tesis, dan disertasi, rambu-rambu KKNI hendaknya  dijadikan sebagai titik tolak dalam menetapkan dan merumuskan masalah penelitiannya.

Teori Kebenaran

Dari beberapa literatur yang saya baca, sekurangnya ada empat macam kebenaran. Ke empat macam tersebut antara lain; 1) Kebenaran koherensi, 2) kebenaran korespondensi, 3) kebenaran pragmatis, dan 4) kebenaran hakiki (kebenaran menurut agama). Kebenaran koherensi adalah kebenaran yang berkaitan dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Kebenaran korespondensi adalah kebanaran yang bersesuaian dengan objek yang dituju, atau sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Kebenaran pragmatis yaitu kebenaran berdasarkan nilai guna, apakah bermanfaat bagi kehidupan atau tidak sama sekali. Kebenaran hakiki disebut juga sebagai kebenaran religeous, mutlak, dan tidak ada keraguan sedikitpun untuk tidak mempercayainya.

Dalam keehidupan sehari-hari tanpa disadari kriteria kebenaran ini sering muncul. Misalnya, ketika seseorang berdebat tentang sesuatu, lalu untuk mempertegas kebaran yang ia sampaikan maka keluarlah ucapan, “kalau tidak percaya, bertanyalah ke bapak  X“. Dalam sebuah karya ilmiah kriteria kebenaran tersebut akan terlihat pada bab kajian teori, di mana penulis berusaha mencari literatur terkait dengan variabel yang disekidiki. …

Tinggalkan komentar